1.Corak
Kehidupan Berburu dan Meramu
Masa berburu dan meramu tingkat
lanjut berlangsung setelah zaman pleistosen.
Corak kehidupan masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut terpengaruh
pada masa sebelumnya. Kehidupan mereka masih bergantung pada alam. Mereka hidup
dengan cara berburu binatang di dalam hutan, menangkap ikan, dan dengan
mengumpulkan makanan seperti umbi-umbian, buah-buahan, biji-bijian, dan
daun-daunan. Alat-alat kehidupan yang digunakan pada masa itu misalnya kapak
genggam, flake, dan alat-alat dari tulang. Pada masa tersebut juga dikenal
gerabah yang berfungsi sebagai wadah. Sejarah masa berburu dan meramu tingkat
lanjut Masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut hidup dalam kelompok yang
terdiri dari beberapa keluarga. Di antara kelompok-kelompok tersebut ada yang
hidup di daerah pesisir. Mereka hidup dengan mencari kerang dan ikan laut.
Bekas tempat tinggal mereka ditemukan tumpukan kulit kerang dan alat-alat yang
mereka gunakan, seperti kapak genggam, mata panah, mata tombak, mata kail dan
lain-lain. Pola bermukim mereka mulai berubah dari nomaden menjadi
semesedenter. Ketika masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut telah mampu
mengumpulkan makanan dalam jumlah yang cukup banyak, mereka mulai lebih lama
mendiami suatu tempat. Kemudian pengetahuan mereka berkembang untuk menyimpan
dan mengawetkan makanan. Daging binatang buruan diawetkan dengan cara dijemur
setelah terlebih dahulu diberi ramuan. Mereka bertempat tinggal di gua-gua
(abris sous roche). Mereka memilih gua yang letaknya cukup tinggi di
lereng-lereng bukit untuk melindungi diri dari iklim dan binatang buas.
Masyarakat berburu dan meramu tingkat lanjut juga telah mengenal pembagian
kerja. Kegiatan berburu banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Kaum wanita tidak
banyak yang terlibat dalam kegiatan perburuan, mereka lebih banyak berada di
sekitar gua tempat tinggal mereka. Karena perhatian wanita ditujukan kepada
lingkungan yang terbatas, maka mereka mampu memperluas pengetahuannya tentang
seluk-beluk tumbuh-tumbuhan yang dapat dibudidayakan. Secara alami masyarakat
ini telah mengenal bercocok tanam, meskipun masih dalam taraf yang sangat
sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah. Mereka membuka lahan dengan
cara menebang hutan, membakar dan membersihkannya. Setelah tidak subur lagi
tanah tersebut mereka tinggalkan untuk mencari lahan baru yang subur. Kehidupan
semisedenter memberikan banyak waktu luang bagi manusia pendukung masa ini.
Waktu luang tersebut mereka gunakan untuk membuat alat-alat dari batu dan
tulang serta membuat lukisan pada dinding-dinding gua. Lukisan-lukisan mereka
berwujud seperti cap telapak tangan, babi, kadal, perahu, menggambarkan
kegiatan berburu yang berhubungan dengan kepercayaan, yaitu penghormatan
terhadap nenek moyang, upacara kesuburan, dan keperluan perdukunan.
2.Corak Kehidupan Bercocok Tanam
Kelompok-kelompok
kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar, karena masyarakat telah
mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-kelompok perkampungan tumbuh
menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar misalnya klan, marga dan sebagainya
yang menjadi dasar masyarakat Indonesia sekarang. Kehidupan masyarakat menjadi
semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga
memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal. Dengan bertempat tinggal
menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan
teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke
menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara hidup
berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Mereka memasuki
tahapan baru yaitu bercocok tanam ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah
perkembangan dan peradaban manusia. Dengan penemuan-penemuan baru, mereka dapat
menguasai alam, terutama yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup
mereka. Beragam jenis tumbuhan mulai dibudidayakan dan bermacam- macam
binatang mulai dijinakkan. Dengan perkembangannya cara bercocok tanam dan
bertani, berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut
yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang kemudian
mendorong munculnya kelompok-kelompok spesialis atau undagi. misalnya kelompok ahli pembuatan rumah, pembuatan
gerabah, dan pembuatan alat-alat logam.Pada tahapan berikutnya, kegiatan
pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih luas yang berfungsi untuk
mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari organisasi itu
kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdomsatau masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam
masyarakat yang demikian itu sudah dapat dibedakan antara pemimpin dan yang
dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin tidak sekadar karena faktor keturunan,
tetapi juga dianggap mempunyai kekuatan yang lebih dan berkedudukan tinggi.
Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati karena
kelebihan yang dimilikinya itu. Untuk menghormati sang arwah, dibangunlah
tempat-tempat pemujaan seperti tampak pada peninggalan-peninggalan pundenberundak. Selain
dapat menunjukan tempat pemujaan arwah, keberadaan pundenberundak juga dapat menjadi bukti adanya
masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Pundenberundak
merupakan bangunan tempat melakukan upacara bersama. Dalam melaksanakan upacara
itu, juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang disegani oleh masyarakatnya. Pada
masa itu ada kemungkinan sudah terbentuk desa-desa kecil. Pada mulanya hanya
bentuk rumah agak kecil dan berdenah melingkar dengan atap daun-daunan.
Kemudian rumah seperti itu berkembang dengan bentuk yang lebih besar yang
dibangun di atas tiang penyangga. Rumah besar ini bentuknya persegi panjang,
dihuni oleh beberapa keluarga inti. Di bawah tiang penyangga rumah digunakan
untuk memelihara ternak. Apabila musim panen tiba mereka berpindah sementara di
dekat ladang-ladang dengan membangun rumah atau gubuk- gubuk darurat.
Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa. Tidak menutup kemungkinan pada
masa itu, mereka sudah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Para ahli menduga
bahwa pada masa bercocok tanam menetap ini, mereka sudah menggunakan bahasa Melayu-Polenesia atau
rumpun bahasa Austronesia.
Pada masa bercocok tanam mulai muncul kelompok-kelompok profesi, hubungan
perdagangan, dan adanya kontak-kontak budaya yang menyebabkan kegiatan
masyarakat semakin kompleks. Situasi semacam itu tidak saja telah menunjukkan
adanya pelapisan masyarakat menurut kehlian dan pekerjaannya, tapi juga
mendorong perkembangan teknologi yang mereka kuasai.
3. Pola Hunian Manusia
Pra-Aksara
Pola
hunian Manusia Purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu,
(1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola Hunian
itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya.
Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba
di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan
Ngandong) merupakan contoh-contoh dari adanya kecenderungan manusia purba
menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat
keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi
manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air juga
dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke
tempat yang lainnya. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkinkan
untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber
air dan sumber bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat persinggahan
sementara, sehingga tidak meninggalkan jejak pada kita.
Hal
penting yang perlu kita ketahui ialah transisi permukiman nenek moyang dari
nomaden ke tempat tinggal menetap. Manusia purba di indonesia diperkirakan
sudah hidup menjelajah (nomaden) untuk jangka waktu yang lama. Mereka
mengumpulkan bahan makanan dalam lingkup wilayah tertentu dan berpindah-pindah.
Mereka
hidup dalam komunitas-komunitas kecil dengan mobilitas yang tinggi.
Keterisolasian dalam hutan tropis dan ketiadaan kontak dengan dunia luar
menutup kemungkinan untuk mengadopsi budaya luar. Lama hunian di suatu
lingkungan eksploitasi dipengaruhi oleh
ketersediaan bahan makanan.
Manakala
lingkungan sekitar tidak menjanjikan bahan makanan , mereka berpindah ke
lingkungan baru di tepian sungai untuk membuat persinggahan baru. Mulailah
berkembang pola hunian bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua. Inilah
masa transisi sebelum manusia itu bertempat tinggal tetap.
4.Perkembangan Teknologi Manusia Pra Aksara
A. Pengertian Masa Pra Aksara
Pra
aksara atau nirleka(nir: tidak ada, leka:
tulisan) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di saat
catatan sejarah yang tertulis belum tersedia. Zaman
pra aksara dapat dikatakan permulaan terbentuknya alam semesta, namun umumnya digunakan untuk
mengacu kepada masa di saat kehidupan manusia di Bumi
yang belum mengenal tulisan.
Batas
antara zaman pra aksara dengan zaman aksara adalah mulai adanya tulisan. Hal
ini menimbulkan suatu pengertian bahwa pra aksara adalah zaman sebelum
ditemukannya tulisan, sedangkan aksara adalah zaman setelah adanya tulisan.
Berakhirnya zaman pra aksara atau dimulainya zaman aksara untuk setiap bangsa
di dunia tidak sama tergantung dari peradaban bangsa tersebut. Salah satu
contoh yaitu bangsa Mesir sekitar tahun 4000 SM masyarakatnya
sudah mengenal tulisan, sehingga pada saat itu, bangsa Mesir sudah memasuki
zaman aksara. Zaman pra aksara di Indonesia diperkirakan berakhir pada masa
berdirinya Kerajaan
Kutai, sekitar
abad ke-5; dibuktikan dengan adanya prasasti yang berbentuk yupa yang ditemukan
di tepi Sungai
Mahakam, Kalimantan Timur baru memasuki era aksara.
Karena
tidak terdapat peninggalan catatan tertulis dari zaman prasejarah, keterangan
mengenai zaman ini diperoleh melalui bidang-bidang seperti paleontologi, astronomi, biologi, geologi, antropologi, arkeologi. Dalam artian bahwa bukti-bukti pra
aksara didapat dari artefak - artefak yang ditemukan di daerah penggalian situs
pra aksara.
B. Pengertian Teknologi
Teknologi
adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Penggunaan teknologi oleh manusia
diawali dengan pengubahan sumber daya alam menjadi alat-alat sederhana.
Penemuan prasejarah tentang kemampuan mengendalikan api
telah menaikkan ketersediaan sumber-sumber pangan, sedangkan penciptaan roda
telah membantu manusia dalam beperjalanan dan mengendalikan lingkungan mereka.
Perkembangan teknologi terbaru, termasuk di antaranya mesin cetak, telepon, dan Internet, telah memperkecil hambatan fisik
terhadap komunikasi dan memungkinkan manusia untuk
berinteraksi secara bebas dalam skala global. Tetapi, tidak semua teknologi
digunakan untuk tujuan damai; pengembangan senjata penghancur yang semakin hebat telah
berlangsung sepanjang sejarah, dari pentungan sampai senjata nuklir.
C. Perkembangan
Teknologi Masa Pra Aksara di Indonesia
Perlu
kamu ketahui bahwa sekalipun belum mengenal tulisan manusia purba sudah mengembangkan
kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan
yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya
paralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada
tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya
serta bersifat trial dan eror. Mula – mula mereka hanya menggunakan benda –
benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang
dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, pad ahli kemudian
membagi kebudayaan zaman batu di era pra-aksara ini menjadi beberapa zaman atau
tahap perkembangan. Dalam buku R. Soekmono, Pengantar sejarah kebudayaan
Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman batu ini dibagi menjadi tiga,
yaitu, Paleotikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum serta zaman logam
yaitu perunggu dan besi
D. Zaman Batu
Zaman
Batu terjadi sebelum logam dikenal. Zaman batu menunjuk pada suatu periode di
mana alat-alat kehidupan manusia umumnya/dominan terbuat dari batu, walaupun
ada juga alat-alat tertentu yang terbuat dari kayu dan tulang. Zaman batu ini
diperiodisasi lagi menjadi 4 zaman, antara lain:
1. Paleolitikum atau Zaman
Batu Tua
Paleotikum
adalah zaman prasejarah yang bermula kira-kira 50.000 hingga 100.000 tahun yang
lalu. Periode zaman ini adalah antara tahun 50.000 SM - 10.000 SM.
Pada
zaman ini, manusia Peking dan manusia Jawa telah ada. Di Afrika, Eropa dan
Asia, manusia Neanderthal telah hidup pada awal tahun 50.000 SM, manakala pada
tahun 20 000 SM, manusia Cro-magnon sudah menguasai kebudayaan di Afrika Utara
dan Eropa.
Beberapa
perkembangan kebudayaan ditemukan di sekitar Pacitan (ditemukan oleh Von
Koenigswald) dan Ngandong. Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden atau berpindah-randah dalam
kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka mencari biji-bijian, umbi, serta
dedaunan sebagai makanan. Mereka tidak bercocok tanam. Mereka menggunakan batu,
kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan sehari-hari. Alat-alat ini
juga digunakan untuk mempertahankan diri dari musuh. Peninggalan yang ditemukan
antara lain berupa peralatan batu seperti flakes (alat penyerpih
berfungsi misalnya untuk mengupas, menguliti), chopper (kapak
genggam/alat penetak), selain itu terdapat pula peralatan dari tulang.
Kapak
genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan, biasa disebut Chopper (alat
penetak/pemotong). Dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan
kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara menggunakannya dengan cara menggenggam.
Pembuatannya dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi
lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.
Spesies
manusia purba yang telah ada: Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus
Erectus (Pithecanthropus Mojokertensis,
Pithecanthropus Robustus).
2.
Mesolitikum atau Zaman Batu Tengah
Mesolitikum
atau Zaman Batu Madya (Bahasa
Yunani: mesos "tengah", lithos
batu) adalah
suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda.
Istilah
ini diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman
Prasejarah" (bahasa Inggris: Pre-historic
Times) yang diterbitkan pada tahun 1865. Namun istilah ini tidak
terlalu sering digunakan sampai V.
Gordon Childe
mempopulerkannya dalam bukunya The
Dawn of Europe (1947).
Pada
zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia
pada masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam
secara sederhana.[3] Tempat tinggal yang mereka pilih
umumnya berlokasi di tepi pantai(kjokkenmoddinger) dan goa-goa
(abris sous roche) sehingga
di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia
pada zaman itu.
3.
Neolitikum
Neolitikum atau Zaman Batu Mudaadalah fase atau tingkat kebudayaanpada
zaman pra aksara yang mempunyai ciri-ciri berupa unsur kebudayaan, seperti
peralatan dari batu yang
diasah, pertanian menetap, peternakan,
dan pembuatan tembikar.
4. Megalitikum
Megalitikum
berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yangberarti batu. Zaman
Megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar,karena pada zaman ini manusia
sudah dapat membuat dan meningkatkankebudayaan yang terbuat dan batu-batu
besar. kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu.
Pada zaman ini manusia sudah mengenal kepercayaan. Walaupunkepercayaan mereka
masih dalam tingkat awal, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang,
Kepercayaan ini muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai meningkat.
Menurut Von
Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2
gelombang yaitu :
a) Megalith
Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum
adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
b) Megalith
Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya
adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Apa yang dinyatakan dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Apa yang dinyatakan dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Adapun beberapa hasil-hasil kebudayaan
pada zaman megalitikum adalah sebagai berikut:
a)
Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa
tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga
bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula
yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Lokasi
tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan),
Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
b) Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah
bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat
pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.
Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
c) Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang
berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di
bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat
dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat
oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi
penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan / Jawa Barat, Bondowoso / Jawa
Timur, Merawan, Jember / Jatim, Pasemah / Sumatera, dan NTT.
d) Sarkofagus
Sarkofagus
adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya
menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang
ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak
persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi.
Daerah
tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus
memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus
dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
Di
Indonesia, beberapa etnik masih memiliki unsur-unsur megalitik yang
dipertahankan hingga sekarang.
a)Pasemah
Pasemah merupakan wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi Palembang. Tinggalan megalitik Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik pasemah], disebut oleh ahli arkeologi sebagai Budaya Megalitik Pasemah.
Pasemah merupakan wilayah dari Propinsi Sumatera Selatan, berada di kaki Gunung Dempo. Tinggalan-tinggalan megalitik di wilayah ini tersebar sebanyak 19 situs, berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari Balai Arkeologi Palembang. Tinggalan megalitik Pasemah muncul dalam bentuk yang begitu unik, patung-patung dipahat dengan begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang seniman dalam memahat sehingga tinggalan [megalitik pasemah], disebut oleh ahli arkeologi sebagai Budaya Megalitik Pasemah.
b) Nias
Rangkaian kegiatan mendirikan batu besar
(dolmen) untuk memperingati kematian seorang penting di Nias (awal abad ke-20).
Etnik Nias masih menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kehidupannya.
Lompat batu dan kubur batu masih memperlihatkan elemen-elemen megalitik.
Demikian pula ditemukan batu besar sebagai tempat untuk memecahkan perselisihan.
c) Sumba
Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih kental
menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kegiatan sehari-hari. Kubur batu
masih ditemukan di sejumlah perkampungan. Meja batu juga dipakai sebagai tempat
pertemuan adat.
E. Zaman
Logam
Di Eropa zaman logam ini mengalami 3
fase, zaman tembaga, perunggu, dan besi. Sedangkan di Kepulauan Indonesia hanya
mengalami zaman perunggu dan besi.
5.Revolusi Neolithikum
Zaman
neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya semakin maju. Yang dulunya
food gathering kini food producing. Manusia tidak hanya sudah
hidup secara menetap tetapi juga telah bercocok tanam. Masa ini penting
dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban karena pada masa
ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan mulai dipelihara dan
dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk membuat ladang-ladang.
Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah menguasai lingkungan alam
beserta isinya.
Masyarakat
pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam suatu perkampungan yang
dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah mereka masih kecil-kecil
berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari daun-daunan. Rumah ini
diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia yang sampai
sekarang masih dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan
Andaman. Kemudian barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan
menggunakan tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung
beberapakeluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan
dengan ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang
itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.
Oleh
karena mereka sudah hidup menetap dalam suatu perkampungan maka tentunya dalam
kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan secara bergotong-royong.
Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah, tetapi juga dalam
menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil
tanaman,membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.
Sistem
kepercayaan masyarakat praaksara di Indonesia tidak terlepas dari kepercayaan
asli masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kepercayaan
asli merupakan bentuk kerohanian yang khas dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, kepercayaan asli sering disebut dengan agama asli atau religi.
Kepercayaan manusia tidak terbatas pada dirinya sendiri saja, akan tetapi pada
benda-benda dan tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitarnya. Berdasarkan
keyakinan tersebut, manusia menyadari bahwa makhluk halus atau roh itu memiliki
wujud nyata dan sifat yang mendua, yaitu sifat yang membawa kebaikan dan sidat
yang mendatangkan keburukan. Jika diperhatikan, lukisan-lukisan yang terdapat
di gua-gua tidak hanya mempunyai nilai estetika, tetapi juga mengandung makna
etika magis. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa cap-cap tangan dengan latar
belakang cat merah memiliki arti kekuatan atau perlindungan dari roh-roh jahat.
Seperti terdapat pada beberapa lukisan di Papua mempunyai kaitan dengan upacara
penghormatan nenek moyang, meminta hujan dan kesuburan, serta memperingati
suatu peristiwa yang sangat penting. Adanya keyakinan-keyakinan itulah yang
kemudian mendorong berkembang beberapa kepercayaan di Indonesia, diantaranya
animisme, dinamisme dan totemisme. Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh-roh
nenek moyang. Awal munculnya kepercayaan animisme ini didasari oleh berbagai
pengalaman dari masyarakat yang bersangkutan. Misalnya pada daerah di sekitar
tempat tinggal terdapat sebuah batu besar. Masyarakat yang melewati batu besar
tersebut mendengar keganjilan seperti suara minta tolong, memanggil namanya,
dan lain-lain. Namun begitu dilihat mereka tidak menemukan adanya orang atau
apapun. Peristiwa tersebut kemudian terus berkembang hingga masyarakat menjadi
peracaya bahwa batu yang dimaksud mempunyai roh atau jiwa. Dinamisme adalah
suatu kepercayaan dengan keyakinan bahwa semua benda mempunyai kekuatan gaib,
misalnya gunung, batu, dan api. Bahkan benda-benda buatan manusia seperti
patung, tombak, jimat dan lain sebagainya. Totemisme merupakan keyakinan bahwa
binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu masyarakat atau orang tertentu.
Binatang yang dianggap nenek moyang antara masyarakat yang satu dengan lainnya
berbeda-beda. Biasanya binatang nenek moyang tersebut disucikan, tidak boleh
diburu dan dimakan, kecuali untuk upacara tertentu. Kepercayaan animisme dan
dinamisme menjadi kepercayaan asli bangsa Indonesia sebelum agama Hindu dan
Budha masuk ke Indonesia. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kedua
kepercayaan itu sudah berakar kuat. Salah satu aspek yang dapat dikaitkan
dengan kedua kepercayaan tersebut adalah berupa peninggalan-peninggalan zaman
megalitikum. Menhir atau arca, merupakan lambang dan tahta persemayaman roh
leluhur. Kedua jenis peninggalan itu digunakan sebagai sarana pemujaan terhadap
roh nenek moyang. Dolmen dan punden berundak berkaitan dengan aktivitas
upacara, karena dolmen digunakan sebagai tempat sesaji, sedangkan punden
berundak digunakan untuk tempat upacara. Praktik-praktik kepercayaan animisme
dan dinamisme itu juga terlihat dalam penyelenggaraan upacara-upacara yang
berhubungan dengan kematian. Penyelenggaraan upacara kematian dilandasi dengan
kepercayaan bahwa kematian itu pada hakikatnya tidak membawa perubahan dalam
kedudukan, keadaan dan sifat seseorang. Dengan landasan itu, penguburan mayat
selalu disertai dengan bekal-bekal kubur dan arwah mayat yang disesuaikan
dengan kedudukannya ketika masih hidup. Keyakinan akan adanya dunia arwah
terlihat dari arah penempatan kepala mayat yang diarahkan ke tempat asal atau tempat
bersemayam roh nenek moyang mereka. Tempat yang biasanya diyakini sebagai
tempat roh nenek moyang adalah tempat matahari terbit atau terbenam, dan
tempat-tempat yang tinggi, misalnya di gunung dan bukit. Bukti mengenai hal ini
terlihat dari hasil penggalian kuburan-kuburan kuno di beberapa tempat di
wilayah Indonesia, seperti Bali dan Kalimantan yang menunjukkan arah kepala
mayat selalu ke arah timur, barat atau ke puncak-puncak gunung atau bukit.
Itu adalah beberapa corak kehidupan masyarakat pra-aksara, sekian dari admin, semoga bisa ketemu lagi dipost berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar