KERAJAAN – KERAJAAN HINDU BUDHA DI
INDONESIA
Kerajaan Tarumanegara
- Letak Geografis
Perlu kamu pahami bahwa setelah Kerajaan ini
terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa bagian barat. Berdasarkan prasasti-prasasti
yang ditemukan pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai
Citarum dan Cisadane. Kalau mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma
mungkin berkaitan dengan kata "tarum" yang artinya nila. Kata
"tarum" dipakai sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat, yakni
Sungai Citarum. Mungkin juga letak Tarumanegara dekat dengan aliran Sungai
Citarum,. Kemudian bedasarkan Prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusatnya
da di daerah Bekasi.
- Kehidupan Politik
Kerajaan Tarumanegara
merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang dipengaruhi agama dan kebudayaan
Hindu. Letaknya di Jawa Barat dan diperkirakan berdiri kurang lebih abad ke 5
M. Raja yang memerintah pada saat itu adalah Purnawarman. Ia memeluk agama
Hindu dan menyembah Dewa Wisnu.
Sumber sejarah mengenai Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui dari
prasasti-prasasti yang ditinggalkannya dan berita-berita Cina. Prasasti yang
telah ditemukan sampai saat ini ada 7 buah. Berdasarkan prasasti inilah dapat
diketahui bahwa kerajaan ini mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan
Hindu.
Prasasti itu menggunakan
huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan demikian, Kerajaan Tarumanegara
seperti halnya Kerajaan Kutai mendapat pengaruh dari Kerajaan Hindu yang ada di
India Selatan.
Prasasti-prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanegara berdasarkan tempat penemuannya, antara lain
sebagai berikut.
1) Prasasti Ciaruteun
(Ciampea), ditemukan di tepi Sungai Ciaruteun (Bogor) dekat muaranya dengan
Cisadane.
2) Prasasti Pasir Jambu
(Koleangkak), ditemukan di daerah perkebunan Jambu sekitar 30 km sebelah barat
Bogor.
3) Prasasti Kebon Kopi,
ini terletak di Kampung Muara Hilir, Cibungbulang (Bogor). Ditulis dalam bentuk
puisi Anustubh.
4) Prasasti Pasir Awi
dan Prasasti Muara Cianten. Kedua prasasti ini menggunakan aksara yang
berbentuk ikal yang belum dapat di baca, ditemukan di Bogor.
5) Prasati Tugu,
ditemukan di daerah Tugu (Jakarta). Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang
dari semua prasasti peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti ini berbentuk puisi
Anustubh. Tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara
melingkar.
6) Prasasti Cidanghiang
atau Prasasti Lebak, ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Munjul,
Lebak (Banten).
- Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan prasasti
Tugu dapat diketahui mata pencaharian penduduknya, yaitu pertanian dan
perdagangan. Begitu pula berdasarkan berita dari Fa-Hien awal abad ke 5,
diketahui bahwa mata pencaharian penduduk Tarumanegara adalah pertanian,
peternakan, perburuan binatang, dan perdagangan cula badak, kulit penyu dan
perak. Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Tugu (Jakarta) merupakan prasasti
terpanjang dari semua prasasti peninggalan Raja Purnawarman.
"kuat buat mengalirkannya ke laut, setelah sampai di istana
yang termasyhur, didalam tahun keduapuluh duanya dari takhta raja Purnawarman
yang berkilau-kilau karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji
segala raja. Sekarang beliau menitahkan menggali sungai yang permai dan jernih,
gomati namanya, setelah melewati kediaman sang pendeta nenkda, pekerjaan ini
dimulai pada tanggal 9 paro petang bulan, pulaguna dan disudahi tanggal 13 paro
terang bulan citra, jadi hanya 21 saja, sedangkan galian panjangnya 6.122
tumbak. Selamatan baginya oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang
dihadiahkan”.
Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja sangat
memperhatikan kondisi perekonomian masyarakatnya. Penggalian sungai
Chandrabhaga sepanjang 12 km yang berlangsung selama 21 hari itu dimaksudkan
untuk kepentingan pengairan pertanian, pencegah banjir, dan sebagai sarana
transportasi dari pesisir pantai ke pedalaman.
- Kehidupan Sosial
Diperkirakan masyarakat Tarumanegara terdiri
atas golongan istana dan masyarakat biasa. Termasuk ke dalam golongan istana,
yaitu para Brahmana, raja dan keluarganya, para ksatria (prajurit), dan para
pegawai kerajaan. Adapun yang termasuk ke dalam golongan rakyat biasa, yaitu
para pedagang, petani, dan peternak. Hubungan antara raja dan rakyat sangat
harmonis. Hal ini tampak pada perhatian raja terhadap ekonomi masyarakatnya.
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad
ke-5 M. Raja yang sangat terkenal adalah Purnawarman. Ia di kenal sebagai raja
yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para brahmana, pangeran, dan
rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Daerahnya cukup
luas sampai kedaerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan
dengan kerajaan lain, misalnya dengan Cina.
Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat
Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikt yang teragama Budha dan masih ada
mempertahankan agama nenek moyang (animisme). berdasarkan berita dari Fa-Hein,
di To-lo-mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama, Budha
dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu. sebagai bukti, pada
prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu.
Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T'ang terjadi hubungan perdagangan
dengan jawa. Barang-barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak,
cula badak, dan gading gajah, dituliskan juga bahwa pemeluk daerah itu pandai
membuat minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.
-
Kebudayaan
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad
ke-5 M. Raja yang sangat terkenal adalah Purnawarman. Ia di kenal sebagai raja
yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para brahmana, pangeran, dan
rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Daerahnya cukup
luas sampai kedaerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan
dengan kerajaan lain, misalnya dengan Cina.
Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat
Tarumanegara memeluk agama Hindu. Sedikt yang teragama Budha dan masih ada
mempertahankan agama nenek moyang (animisme). berdasarkan berita dari Fa-Hein,
di To-lo-mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama, Budha
dan kepercayaan animisme.
Raja memeluk agama Hindu. sebagai bukti, pada prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T'ang terjadi hubungan perdagangan dengan jawa. Barang-barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah, dituliskan juga bahwa pemeluk daerah itu pandai membuat minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.
Raja memeluk agama Hindu. sebagai bukti, pada prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T'ang terjadi hubungan perdagangan dengan jawa. Barang-barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah, dituliskan juga bahwa pemeluk daerah itu pandai membuat minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.
- Kitab – kitab
No.
|
Nama Kitab
|
Lokasi Penemuan
|
Pembuatan
|
Peninggalan
|
1
|
Carita Parahayangan
|
Bogor, Jabar
|
Abad ke-5 M
|
Tarumanegara
|
2
|
Kresnayana
|
Bogor, Jabar
|
Abad ke-5 M
|
Tarumanegara
|
Kerajaan Majapahit
-
Letak Geografis
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah
Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara abad ke-14 - ke-15 M.
Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa
Jayawaddhana (Raden Wijaya). Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan kemegahan
Singhasari yang saat itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya
Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang
disebut dalam kitab Pararaton sebagai hutannya orang Trik.
Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.
Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.
-
Kehidupan Politik
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat
pada masa pemerintahan raja-raja berikut ini.
1) Raden Wijaya (1293–1309)
Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun
1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sebagai seorang raja yang besar,
Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara sebagai permaisurinya. Dari
Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama Jayanegara, sedangkan dari
Gayatri, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri, yaitu Tribuanatunggadewi dan
Rajadewi Maharajasa.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan
kerajaan Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada
saja yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan
pemberontakan di sana-sini. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang
dilakukan oleh Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe
memberontak karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa
kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun,
oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja).
Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo Anabrang. Lembu
Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat kematiannya, kemudian
membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang mempunyai
ambisi politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia
menghukum tindakan Lembu Sora. Lembu Sora membangkang perintah raja dan
mengadakan pemberontakan pada tahun 1298–1300. Lembu Sora gugur bersama
sahabatnya, Jurudemung dan Gajah Biru.
Susunan pemerintahan Raden Wiajaya tidak banyak berbeda dengan
pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i
sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan
rakryan tumenggung. Pada tahun 1309 Raden Wiajay wafat dan didharmakan di
Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit) dengan arca
perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
2) Sri Jayanegara (1309–1328)
Setelah Raden Wiajaya mangkat, digantikan putranya yang bernama
Kala Gemet dengan gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja
muda (kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara
adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus
dirongrong oleh sejumlah pemberontakan.
Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang
menjabat Rakryan Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah
Lumajang dan Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya
(Wiraraja). Raja Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan
Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi pun
gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun
1318. Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah
dua orang dari tujuh dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya
karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa
melarikan diri dan mengungsi ke Badander di bawah perlindungan pasukan
Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit
untuk melakukan pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang
memihak raja dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti.
Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba ke
pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam pertempuran
itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu kota untuk
meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah Mada diangkat
menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Patih Daha
menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja
Jayanegara dibunuh oleh Tanca (seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh
oleh Gajah Mada. Peristiwa itu disebut Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi
Srenggapura di Kapopongan.
3) Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani
(1328–1350)
Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat,
takhta kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang
bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah,
Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau
Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar Kertawardhana.
Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada, pemerintahannya dapat berjalan
lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah
Besuki, tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu,
Gajah Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit
menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam suatu
persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara lainnya,
Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan
Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa berarti
garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan berbagai masakan. Oleh karena
itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup
enak) sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah
Mada sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur.
Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti
prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat. Setelah persiapannya
matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak menyerang untuk
menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang
dibantu oleh Laksamana Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang
pejabat Majapahit keturunan Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan
gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah
di Sumatra, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan
Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal, Adityawarman diangkat
menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman segera
menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga
Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan
dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi meninggal dan didharmakan di
Panggih dengan nama Pantarapurwa.
4) Raja Hayam Wuruk (1350–1389)
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan
dikenal pula dengan nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi
masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja)
dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah
Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang
gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit
mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia
sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke
Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan. Dengan kenyataan itu, berarti
Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud sehingga seluruh pembesar
kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang negarawan dan
jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab
Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau
Jawa yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Kerajaan Sunda itu diperintah oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin
menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357 Raja
Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri Baduga yang bernama Dyah Pitaloka
untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu diterimanya. Dyah Pitaloka dengan
diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan
tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan pengantin.
Gajah Mada menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada
Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud
Gajah Mada itu ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya,
terjadilah pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para
pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu
terkenal dengan nama Perang Bubat.
5) Raja Wikramawardhana (1389–1429)
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan
di antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun
1401. Seorang raja daerah dari bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi memberontak
terhadap Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani
yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre
Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir. Dalam kitab Pararaton,
pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg. Pasukan Bhre Wirabhumi
dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
6) Raja Suhita (1429–1447)
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya
yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk
meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih balas dendam sudah
telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433
Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu
menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit terus berlangsung.
7) Raja Majapahit Terakhir
Pada tahun 1447 Suhita meninggal dan digantikan Dyah Kertawijaya.
Ia hanya memerintah selama empat tahun (1447–1451) karena pada tahun 1451
meninggal dan didharmakan di Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja
tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre
Pamotan dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang
Sinagara. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling,
Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang
dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit selama tiga
tahun (1453–1456) tidak mempunyai seorang raja. Pada tahun 1456 Majapahit
diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana. Bhre Wengker adalah
anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun
(1456–1466).
8) Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian
diikuti berdirinya Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit.
Raja dan pejabat penting Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk
Islam. Mereka masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit
berusaha dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan
Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi).
-
Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah
Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut.
1.
Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang
banyak menghasilkan bahan makanan.
2.
Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada
tanaman rempah-rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3.
Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan
yang menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4.
Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung
Galuh, Canggu, dan Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan
luar negeri, seperti Cina, Campa, dan India.
5.
Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan
dari raja-raja daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang
cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan
keluarga raja beserta para pejabat negara lebih makmur lagi.
-
Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam
kitab Negarakrtagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling
ke daerah-daerah untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dan kesejahteraan
rakyatnya. Perlindungan terhadap rakyat sangat diperhatikan. Demikian juga
peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa yang bersalah dihukum tanpa pandang
bulu.
Dalam kondisi kehidupan yang aman dan teratur maka suatu
masyarakat akan mampu menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi.
Hasil budaya Majapahit dapat dibedakan sebagai berikut.
1.
Candi
Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di
Blitar), Candi Brahu, Candi Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang Ratu, Candi
Tikus, dan bangunan-bangunan kuno lainnya, seperti Segaran dan Makam Troloyo
(di Trowulan).
2.
Kesusanteran
Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat
dibagi menjadi zaman Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.
- Kebudayaan
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem
ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar
tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua
wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk
kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang
secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta
wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.
-
Kitab – Kitab
·
Kitab Negarakrtagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang
keadaan kota Majapahit, daerah-daearah jajahan, dan perjalananan Hayam Wuruk
keliling ke daerah-daerah.
·
Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam kitab ini
terdapat ungkapan yang berbuny "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma
mangrawa" yang kemudian dipakai sebagai motto negara kita.
·
Kitab Arjunawijaya karangan EmpuTantular. Isinya tentang raksasa
yang dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.
·
Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
No.
|
Nama Kitab
|
Lokasi Penemuan
|
Pembuatan
|
Peninggalan
|
1
|
Negara Kertagama
|
Jawa Timur
|
Abad ke-13 M
|
Majapahit
|
2
|
Sutasoma
|
Jawa Timur
|
Abad ke-13 M
|
Majapahit
|
3
|
Pararaton
|
Jawa Timur
|
Abad ke-13 M
|
Majapahit
|
4
|
Ranggalawe
|
Jawa Timur
|
Abad ke-13 M
|
Majapahit
|
5
|
Arjunawiwaha
|
Jawa Timur
|
Abad ke-13 M
|
Majapahit
|
Kerajaan Kutai
- Letak Geografis
Kerajaan Kutai adalah kerajaan paling tua di
Indonesia. Kerajaan ini terletak di sekitar Daerah Aliran Sungai Mahakam,
Kalimantan Timur, dekat Kota Tenggarong. Nama Kerajaan Kutai adalah nama yang
diberikan oleh para ahli sejarah sehubungan ditemukannya peninggalan tertulis
pada tiang batu (yupa) di daerah Kutai. Nama sesungguhnya kerajaan ini tidak
diketahui sebab tak ada sumber sejarah yang menyebutkannya.
-
Kehidupan Politik
Bagaimana kehidupan politik yang sesungguhnya
di Kerajaan Kutai tidak banyak diketahui. Sedikit keterangan mengenai hal itu
diperoleh melalui salah satu prasasti yang berbunyi sebagai berikut:
“Sang Maharaja
Kundungga yang amat mulia mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarman namanya,
yang seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat
mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang
terkemuka dari ketiga putra itu adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban
baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan)
emas amat banyak. Buat peringatan kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh
para Brahmana”.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui nama-nama raja yang
pernah memerintah di Kerajaan Kutai. Raja pertama bernama Kundungga yang
merupakan nama Indonesia asli. Ia mempunyai seorang anak yang bernama
Aswawarman yang dianggap sebagai pendiri dinasti atau pembentuk keluarga
(Wamsakerta). Nama anak Kundungga di atas menunjukkan telah masuknya pengaruh
Hindu dalam Kerajaan Kutai. Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa Aswawarman
itu mempunyai 3 orang putra. Salah seorang di antara putranya itu sangat
terkenal, bernama Mulawarman. Kedua nama terakhir menggunakan bahasa Sanskerta.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia
asli yang telah memeluk Hindu.Masyarakat Kutai, di samping bertani yang menjadi
ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya.
Keterangan tertulis pada yupa-prasasti yang berbunyi:
· “Tugu ini ditulis buat
(peringatan) dua (perkara) yang telah diberikan oleh Sang Raja Mulawarman,
yakni segunung minyak (kental) dengan lampu serta malai bunga”;
· “Sang Mulawarman, raja
yang mulia dan terkemuka telah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana
yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama)
Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini
telah didirikan oleh para Brahmana yang datang ke tempat ini”.
Keterangan di atas
memberi gambaran tentang kehidupan ekonomi masyarakat Kutai yang cukup kaya dan
makmur serta rajanya yang dermawan.
- Kehidupan Ekonomi
Kehidupan
ekonomi masyarakat Kutai diperkirakan ditunjang dari sektor pertanian, baik
sawah maupun ladang. Selain itu, melihat letaknya yang strategis, yaitu di
sekitar Sungai Mahakam yang menjadi jalur perdagangan Cina dan India, membuat
Kerajaan Kutai menarik untuk disinggahi para pedagang. Dengan begitu, bidang
perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai.
Kehidupan
ekonomi masyarakat Kutai meningkat dengan diangkatnya Raja Mulawarman. Beliau
adalah raja yang mulia dan dermawan. Terbukti dengan memberi sedekah kepada
rakyatnya berupa 20.000 ekor sapi yang diletakkan di Waprakeswara.
- Kehidupan Sosial
Berdasarkan
terjemahan prasasti-prasasti bukti peninggalan Kerajaan Kutai, dapat diketahui
bahwa masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur. Diperkirakan
masyarakat Kutai telah terbagi menjadi beberapa kasta.
Dari bukti
prasasti yupa yang ditemukan, tulisan yang digunakan merupakan huruf Pallawa
dengan menggunakan bahasa Sanskerta serta dengan pemberian hadiah sapi,
disimpulkan bahwa dalam masyarakat Kutai terdapat golongan brahmana, yang sebagaimana
memegang monopoli penyebaran dan upacara keagamaan.
Selain
golongan brahmana, terdapat pula golongan ksatria. Golongan ini terdiri dari
kerabat dekat raja dan raja itu sendiri. Dikatakan dalam satu sumber bahwa
keluarga Kudungga (selain dia) pernah melakukan upacara Vratyastima, yaitu
upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta ksatria. Terbukti dari arti nama
nama raja yang memerintah Kerajaan Kutai (kecuali Kudungga ) yaitu adanya kata
‘warman’ di akhir nama raja yang berasal dari bahasa Sanskerta. Penambahan nama
”warman” biasanya melalui upacara atau penobatan raja secara agama Hindu.
- Kebudayaan
Kehidupan sosial dan budaya sangat erat
kaitannya. Tak ada kebudayaan tanpa masyarakat penghasil dan pendukungnya.
Berdasarkan hal itu, yupa dan prasasti dipandang sebagai hasil kebudayaan yang
menggambarkan kehidupan budaya masyarakat Kutai, seperti berikut ini.
· Masyarakat Kutai
adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek moyangnya. Dalam
kaitan ini, mereka melestarikan tradisi megalitikum melalui pembuatan tiang
batu (yupa) untuk mengenang apa yang telah mereka perbuat (sebagai tindakan
masyarakat berbudaya) berupa penjelasan keturunan, kedermawanan, dan agama yang
mereka peluk.
· Masyarakat Kutai
adalah masyarakat yang sangat respon terhadap perubahan dan kemajuan
kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari adanya kesediaan menerima dan
mengadaptasi budaya luar (India) ke dalam kehidupan masyarakat sebagaimana
ditunjukkan dalam yupa-prasasti yang mereka buat.
· Masyarakat Kutai
adalah masyrakat yang menjunjung tinggi spirit keagamaan dalam kehidupan
kebudayaannya. Penyebutan nama Brahmana sebagai pemimpin spiritual dan ritual
keagamaan dalam yupa-prasasti yang mereka tulis menguatkan kesimpulan di atas.
Kerajaan Singhasari
-
Letak Geografis
Kerajaan singasari merupakan kerajaan yang
dahulunya disebut kerajaan Tumapel. Sehingga letaknyapun di daerah Tumapel Jawa
Timur. Didirikan oleh Ken Arok setelah berhasil mengalahkan Kertajaya, raja
Kediri pada tahun 1222.
-
Kehidupan Politik
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Singasari dapat kita lihat
dari raja-raja yang pernah memimipinya. Berikut ini adalah raja-raja yang
pernah memimpin Kerajaan Singasari.
1. Ken Arok (1222–1227).
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja
Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok
sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni
Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya
memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh
seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di
Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha.
2. Anusapati (1227–1248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh
ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati
tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan
kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke
Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati
gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa ( tempat
kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati
asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan
Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian,
meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
3) Tohjoyo (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari
dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama
sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian
ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni
berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
4) Ranggawuni (1248–1268)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan
gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng)
yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti.
Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat
Singasari.
Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama
Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi
raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia
dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di
Candi Waleri sebagai Siwa.
5) Kertanegara (1268–-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena
mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada
tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam
pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i
hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan
gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan
yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide
dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja.
Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke
daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama
Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini
ditandai dengan mengirimkan patung Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja
Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai Selat Malaka. Selain itu juga
menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku).
Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa, dengan
tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti Mongol.
Kublai Khan menuntut rajaraja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya
sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang
bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan
bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa.
Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk
menghadapi serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk
menyerangnya. Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir Kerajaan
Kediri. Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni dari
arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan
inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan
berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para
pembesar istana. Kertanagera beserta pembesarpembesar istana tewas dalam
serangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil menyelamatkan
diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria
Wiraraja (Buapati Sumenep). Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat
pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang
bernama Tanah Terik yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit.
Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari
dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari.
Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai
Siwa-Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal
dengan nama Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
-
Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang
dapat memberi keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari.
Akan tetapi, berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di
sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak
menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung oleh
hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara memperluas
wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu
lintas perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian,
perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari.
- Kehidupan Sosial
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken
Arok sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken
Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan
kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan yang menyebabkan para
brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok ataskekejaman rajanya.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat
mulai terabaikan. Hal itu disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga
melupakan pembangunan kerajaan.
Keadaan rakyat Singasari mulai berangsur-angsur membaik setelah
Wisnuwardhana naik takhta Singasari. Kemakmuran makin dapat dirasakan rakyat
Singasari setelah Kertanegara menjadi raja. Pada masa pemerintahan Kertanegara,
kerajaan dibangun dengan baik. Dengan demikian, rakyat dapat hidup aman dan
sejahtera.
Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita
Kertanegara ingin menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan
Singasari tercapai juga walaupun belum sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi
Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, Semenanjung Malaka, Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku.
-
Kebudayaan
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa
prasasti, candi, dan patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain
Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang
berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain
Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung
Kertanegara sebagai Amoghapasa.
Kerajaan Sriwijaya
-
Letak Geografis
Dalam hal kerajaan Sriwijaya ini, jarak waktu
yang terlalu jauh menjadikan banyak perdebatan mengenai sejarah kerajaan sriwijaya ini, termasuk diantaranya adalah letak pasti
kerajaan yang berkembang di abad ke-7 masehi ini. Pendapat ini memiliki
dukungan bukti tertentu yang membuat semakin sulit mengetahui letak kerajaan
Sriwijaya secara pasti. Pendapat yang pertama datang dari Pirre-Yves Manguin
yang melakukan penelitian pada tahun 1993, dimana ia berpendapat bahwa kerajaan
Sriwijaya terletak di daerah sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokiking
yang saat ini masuk dalam wilayah provinsis Sumatera Selatan.
- Kehidupan Politik
Wilayah kekuasaan Sriwijaya meliputi
daerah Lampung, Abngka, dan Logor (daerah strategis untuk perdagangan). Dengan
demikian Sriwijaya bukan lagi sebagai negara senusa atau satu pulau, tetapi
sudah merupakan negara antar nusa karena penguasaannya atas beberapa pulau.
Bahkan ada yang berpendapat Sriwijaya adalah negara kesatuan pertama. Karena
kekuasaannya luas dan berperan sebagai negara bbesar di Asia Tenggara.
- Kehidupan Ekonomi
Kerajaan
Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan
Internasional Asia Tenggara. Dengan letak yang strategis tersebut maka
Sriwijaya berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi pelabuahn Transito
sehingga dapat menimbun barang dari dalam maupun luar. Dengan demikian
kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik. Pada masanya
Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin kaeamanan di
kjalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari
luar yang singgah yang berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.
Faktor lain
yang menyebabkan Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah kehidupan sosial
masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan
hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha
di Asia Tenggara.
Di samping
itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya
di India, hal ini tertera dalam prasasti dalam prasasti Nalanda.. dari prasasti
ini diketahui pula raja Sriwijaya yaitu Balaputra mempunyai hubungan erat
dengan Dewa Paladewa (India). Raja ini memberi sebidang tanah untuk asrama pelajar
dari Sriwijaya. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga
mmemperhatikan kelestaria lingkungannya dengan tujuan untuk meningkatkan
kemakmuran rakyatnya. Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosiall masyarakat
Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh
kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang
dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan suci seperti Stupa, candi atau
patung/arca Budha seperti yang ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua
(Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
- Kehidupan Sosial
Prasasti Amoghpasha
(1286) berbunyi
“Pada tahun saka 1208 .....tatkala itulah arca
paduka amoghappasa lokeswara dengan empat belas pengikutnya serta tujuh ratna
permata dibawa dari bhumi Jawa ke suwarnabhumi supaya ditegakan.
Sumber sejarah lain
mengenai Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari berita Cina. Berita itu datang
dari seorang pendeta yang bernama I-Tsing yang pada tahun 671 berdiam di
Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke
India. I-Tsing menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya dikelilingi oleh benteng.
Di negeri ini ada seribu orang pendeta yang belajar agama Buddha.
Seperi halnya di India,
para pendeta Cina yang mau belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar
terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga
bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha di Sriwijaya dibimbing oleh
seorang guru yang sangat terkenal bernama Sakyakirti. Berdasarkan berita
I-Tsing dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M merupakan
pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.
Prasasti Nalanda berisi
tentang pembebasan tanah untuk pendirian sebuah biara atas permintaan raja Swarnadiva,
Balaputradewa, cucu raja Jawa berjuluk Wirawairimathana, yang berputra
Samaargrawira yang menikahi putri Raja Dharmasetu. Dari prasasti-prasasti
tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja sangat memperhatikan dunia
pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan kerajaannya. Pendidikan yang
berbasis pengajaran agama Buddha disatu sisi telah membawa corak kehidupan yang
khas pada masyarakat Sriwijaya.
- Kebudayaan
Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha
di Asia Tenggara. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya biksu yang terdapat di
Sriwijaya beserta pusat pendidikannya. Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan, bahwa penduduk yang beragama Hindu terdapat pula di
Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuo isinya menyebutkan tentang
pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu
pranidhana (na ar). Di samping itu, terdapat doa dan
harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha. Sebaliknya, prasasti Karang
Berahi, prasasti Telaga Batu, dan prasasti Palas Pasemah umumnya berisi doa,
kutukan, dan ancaman terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat
pada peraturan Raja Sriwijaya.
- Peninggalan Sejarah Kerajaan Sriwijaya Berupa Prasasti-Prasasti
1. Prasasti Palas Pasemah, ditemukan
didaerah Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti Palas Pasemah menyebutkan
bahwa daerah Lampung Selatan pada saat itu sudah diduduki Sriwijaya.
2. Prasasti Kedukan Bukit, ditemukan
di daerah Kedukan Bukit di tepi SUngai Tatang dekat Palembang. Prasasti ini
berangka tahun 683 M dan terdiri atas 10 bari kalimat. Isi Prasasti kedukan
Bukit menceritakan bahwa pada tahun 683 M seorang bernama Dapunta Hyang
mengadakan perjalanan suci dengan membawa 20.000 tentara berangkat dari
Minangatamwan dengan naik perahu. Sementara itu, tentara sebanyak 1.312
melakukan perjalanan darat datang di Melayu dan membuat Kota Sriwijaya.
3. Prasasti Kota Kapur, ditemukan
di daerah Bangka dan berangka tahun 686 M. Prasasti ini berisi berita mengenai
usaha Sriwijaya dalam menaklukkan Pulau Jawa. Prasasti Kota Kapur juga berisi
tentang doa pengharapan agar Sriwijaya dijaga persatuan dan kesatuan wilayahnya.
4. Prasasti Talang Tuo, ditemukan
di daerah Talang Tuo dekat Palembang. Prasasti ini terdiri atas 14 baris
kalimat dan berangka tahun 684 M. Prasasti Talang Tuo berisi tentang pembuatan
Taman Srikesetra untuk kemakmuran rakyat atas perintah Dapunta Hyang Sri
Jayanaso. Selain itu, juga ada doa-doa yang bersifat Buddha Mahayana.
5. Prasasti Karang Berahi, ditemukan
di tepi Sungai Merangin, cabang Sungai Batang Hari daerah Jambi Hulu yang
berangka tahun 686 M. Isi Prasasti ini tentang harapan agar Sriwijaya dijauhkan
dari segala tindakan kejahatan. Selain itu, berisi permintaan kepada para dewa
untuk menghukum siapa saja yang berbuat jahat terhadap Sriwijaya.
6. Prasasti Telaga Batu berisi
tentang kutukan-kutukan raja kepada mereka yang melakukan kejahatan dan tidak
taat terhadap perintah raja.
Kerajaan Kalingga
-
Letak Geografis
Letak Kerajaan Kaling atau Holing, diperkirakan
di Jawa Tengah. Nama Kaling berasal dari Kalingga, nama sebuah kerajaan di
India Selatan. Sumbernya adalah berita Cina yang menyebutkan bahwa kotanya
dikelilingi dengan pagar kayu, rajanya beristana di rumah yang bertingkat, yang
ditutup dengan atap, Orang-orangnya sudah pandai tulis-menulis dan mengenal
juga ilmu perbintangan.
-
Kehidupan Politik
Pada
abad ke VII Masehi Kerajaan Kalingga dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu
Sima. Ratu Sima menjalankan pemerintahan dengan tegas, keras, adil, dan
bijakasana. Ia melarang rakyatnya untuk menyentuh atau mengambil barang yang
bukan milik mereka yang tercecer di jalan. Barang siapa yang melanggarnya akan
mendapatkan hukuman. Hukum di Kalingga ditegakkan dengan baik sehingga
Ketertiban dan ketentraman di Kalingga berjalan dengan baik.
Menurut
naskah Cerita Parahyangan, Ratu Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang menikah
dengan Raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sanaha memiliki anak yang bernama
Sanjaya yang kelak akan menjadi Raja Mataram Kuno. Sepeninggal Ratu Sima,
Kerajaan Kalingga ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.
- Kehidupan Ekonomi
Perekonomian
Kerajaan Kalingga bertumpu pada sector perdagangan dan pertanian. Letaknya yang
dekat dengan pesisir pantai utara Jawa Tengah menyebabkan Klaingga mudah
diakses oleh pedagang luar negeri. Kalingga merupakan daerah penghasil kulit
penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah untuk dijual. Sementara
wilayah pedalaman yang subur dimanfaatkan petani untuk mengembangkan pertanian.
Hasil-hasil pertanian yang diperjual belikan adalah beras dan minuman. Penduduk
Kalingga dikenal pandai membuat minuman yang berasal dari bunga kelapa dan
bunga aren. Dari hasil perdagangan dan pertanian tersebut, penduduk Kalingga
hidup makmur.
- Kehidupan Sosial
Penduduk
Kerajaan Kalingga hidup denga teratur. Berkat kepemimpinan Ratu Sima
ketentraman dan ketertiban sosial di Kerajaan Kalingga berjalan dengan baik.
Dalam menegakkan hukum, Ratu Sima tidak membeda-bedakan antara rakyat dengan
kerabatnya sendiri. Berita tentang ketegasan Hukum Ratu Sima di dengar oleh
Raja T-Shih. Ta-Shih adalah sebutan Cina untuk kaum muslim Arab dan Persia.
Raja Ta-Shih menguji kebenaran berita yang ia dengar. Beliau memerintahkan anak
buahnya untuk meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah Kerajaan Klaingga.
Selama 3 tahun uang itu tidak ada yang menyentuh. Jika ada orang yang melihat
kantong tersebut, mereka berusaha menyingkir.
Tetapi pada suatu hari, Putra
Mahkota tidak sengaja menginjak kantong tersebut sehingga isinya berceceran.
Mendengar kejadian tersebut Ratu Sima marah, dan memerintahkan agar Putra
Mahkota dihukum mati. Tetapi karena para menteri memohon agar Putra Mahkota
mendapat pengampunan. Akhirnya Ratu Sima hanya memerintahkan agar jari Putra
Mahkota yang menyentuh kantong emas dipotong. Hal ini menjadi bukti ketegasan
Ratu Sima.
-
Kebudayaan
Agama yang dianut oleh penduduk Kalingga : pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha berkembang pesat.
Bahkan, pendeta Cina yang bernama Hwi-Ning (Hui-Hing) datang di Kalingga dan
tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitap suci
agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu
Hwi-Ning dibantu oleh seorang pendeta Kalingga bernama Jnanabhadra. Dengan
kepemimpinan raja yang adil, rakyat hidup teratur, aman, dan tenteram. Mata
pencaharian penduduk umumnya adalah bertani karena wilayah Kalingga subur untuk
pertanian. Selain itu, penduduk juga melakukan perdagangan, termasuk
perdagangan dengan luar, seperti India dan Cina.
- Peninggalan
Prasasti Tukmas
§ Ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun
Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah.
§ Bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta.
§ Isi prasasti menceritakan tentang mata air yang bersih dan
jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai
Gangga di India.
§ Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi,
kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan
hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Prasasti Sojomerto
§ Ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten
Batang, Jawa Tengah.
§ Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno
§ Berasal dari sekitar abad ke-7 masehi.
§ Bersifat keagamaan Siwais.
§ Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta
Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya
bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama
Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang
berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
§ Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm,
tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian
barisnya rusak terkikis usia.
Candi Angin
§ Candi Angin terdapat di desa Tempur, Kecamatan Keling,
Kabupaten Jepara. Karena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin,
maka dinamakan “Candi Angin”.
§ Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada
Candi Borobudur. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia
purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.
Candi Bubrah, Jepara
§ Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling,
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
§ Candi Bubrah adalah salah satu candi Buddha yang berada di
dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara
Jonggrang dan Candi Sewu. Secara administratif, candi ini terletak di Dukuh
Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, KabupatenKlaten, Provinsi Jawa
Tengah.
§ Dinamakan ‘Bubrah’ karena keadaan candi ini rusak (bubrah
dalam bahasa Jawa) sejak ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada
abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu.
§ Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis
batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan
masih terdapat beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi.
Mataram Kuno
-
Letak Geografis
Letak wilayah Kerajaan Kalingga masih
diperdebatkan oleh para sejarawan. Berita Cina dari Dinasti Tang menyebut
Kalingga sebagai She-p'o dan letaknya berada di laut selatan. Wilayah Kalingga
berbatasan dengan P'o-Li (Bali) di sebelah timur, To-p'o-teng (Sumatera) di
sebelah barat, laut di sebelah selatan, dan Chen-la (Kamboja) di sebelah utara.
Pada pertengahan musim panas apabila orang mendirikan gnomon setinggi 8 kak,
bayangannya akan jatuh ke selatan dengan panjang dua kaki empat inci. Gnomon
adalah alat untuk menentukan letak ketinggian matahari yang digunakan pada
zaman kuno. Berdasarkan perhitungan tersebut, letak Kalingga berada pada posisi
6°8' LU. Oleh karena itu, Kalingga tidak mungkin berada di Jawa. Akan tetapi,
keberadaan berita tersebut dibantah para sejarawan yang mengatakan bahwa
penulis berita Cina membuat suatu kesalahan. Seharusnya waktu yang dicatat
adalah pertengah musim dingin sehingga bayangan dari gnomon jatuh di sebelah
utara. Oleh karena itu, posisi Kalingga akan berada pada posisi 6°8' LS. Dengan
demikian, Kerajaan Kalingga terletak di sekitar pantai utara Jawa Tengah.
Keberadaan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, didukung para sejarawan Belanda
seperti N.J. Krom, George Coedes, W.F. Mayer, dan W.J. van der Meulen. Mereka
berpendapat bahwa pusat Kalingga berada di suatu tempat antara Kabupaten
Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Secara geografis wilayah pesisir
utara Jawa Tengah strategis untuk perkembangan sebuah kerajaan. Sejak awal abad
Masehi perairan di Laut Jawa sudah berkembang menjadi jalur perdagangan yang
ramai. Oleh karena itu, Kalingga dapat membangun pelabuhan tersebut akan
memudahkan Kalingga berinteraksi dengan dunia luar sehingga sektor perdagangan
maritim dapat berkembang. Sementara itu, wilayah pedalaman Jawa Tengah yang
subur dapat mendukung kedudukan perekonomian negara dari sektor agraris.
-
Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram Kuno dikenal
sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama. Sebab, di Kerajaan Mataram
Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara berdampingan. Kerajaan ini
diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan
Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Berdasarkan interpretasi terhadap
prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling bersaing berebut pengaruh dan
kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti Sanjaya tercantum
dalam prasasti Canggal (732 M) yang menyebutkan bahwa Sanjaya adalah keponakan
Sanna (anak dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam prasasti
Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya menceritakan tentang Dapuntahyang
Syailendra.
Berdasarkan Prasasti Canggal (732
M), terletak di atas Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa
raja pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang memerintah di ibu kota
bernama Medang. Prasasti itu juga menceritakan tentang pendirian sebuah lingga
(lambang dewa Syiwa) di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya
pada tanggal 6 Oktober 732.
Disebutkan juga tentang Pulau
Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang
emas, yang mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna
meninggal, ia digantikan oleh Raja Sanjaya, anak saudara perempuan Raja Sanna.
Raja Sanjaya adalah seorang raja yang gagah berani yang telah menaklukkan raja
di sekelilingnya dan menjadikan kemakmuran bagi rakyatnya . Menurut Carita
Parahyangan (buku sejarah Pasundan), disebutkan Sanna berasal dari Galuh
(Ciamis).
Selain prasasti Canggal, ada juga
prasasti Kalasan (778 M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam
prasasti itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja
Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu menunjukkan bahwa raja-raja keturunan
Sanjaya termasuk keluarga Syailendra.
Prasasti Kedu ( Prasasti
Mantyasih ) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-raja yang
memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai Dyah
Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu
sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat
diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. Selanjutnya
salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang bernama Sri Sanggrama
Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai
Panangkaran pada tahun 778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dikuasai
sepenuhnya oleh Dinasti Syailendra.
Tahun 778 sampai dengan tahun 856
sering disebut sebagai pemerintahan selingan. Sebab, antara Dinasti Syailendra
dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti Syailendra yang beragama
Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian
selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu mengembangkan kerajaan
yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.
Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya
terjadi pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung yang menguasai Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi Prambanan dan Loro Jonggrang menurut model
candi-candi Syailendra. Masa pemerintahan raja-raja Mataram setelah Dyah
Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. Yang dapat diketahui
adalah nama-nama raja yang memerintah, yakni, Daksa (913-919), Wawa (919-924),
Tulodhong (924-929), sampai Mpu Sindok pada tahun 929 M memindahkan ibu kota
kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu
Dinasti Isanawangsa.
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih
(Kedu), sebagai berikut.
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
Raja ini adalah pendiri Kerajaan
Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah wafat, ia digantikan oleh
Rakai Panangkaran.
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan (778 M)
diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran
Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa
Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan
Raja Wisnu dari dinasti Syailendra.
Ini menunjukkan bahwa pada masa
pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu
(yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan
diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah
kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah
Panangkaran tetap beragama Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak memiliki peran
yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga
dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Setelah Raja
Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah
Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka
jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di Dieng,
Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung
disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam
prasasti Karang Tengah – Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha keras
mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia
menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah
yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.
a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan
adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan
menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Diduga
tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri
Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga,
dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti
Karang Tengah.
Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut.
1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada
Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau
778 Saka (856 M). Isinya adalah
(1) Jatiningrat (Pikatan)
menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti
Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan
Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara
Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah
dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai
tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud
adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau),
Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan
Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).
Sebagai raja, Pikatan berusaha
menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang
saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik
menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti
Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa
berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan
Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi
adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.
a) Prasasti Ngabean (879 M),
ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan
gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan
Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.
Dalam pemerintahannya, Kayuwangi
dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima
orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.
8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan Kayuwangi dan
penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan
perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya
tidak ada yang bertahan lama.
Di antara raja-raja yang
memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti
Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras
(885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat
dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat
atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai raja
Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan
memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung
menggunakan beberapa nama:
a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab
Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti
Surabaya).
Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).
Sebenarnya, Balitung bukan
pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta karena kegagahberaniannya
dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa
pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama
dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat
menghormatinya.
Tiga jabatan penting yang berlaku
pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di
bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu
merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.
Balitung digantikan oleh Sri
Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja
Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan
dinasti Sanjaya.
Ketika Mataram diperintah oleh
Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada
beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar,
Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal
dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari
Funan.
Dinasti ini lalu berhasil
mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah
Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah.
Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram
Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.
Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra
sebagai berikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)
Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama.
Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat
Salatiga.
2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.
a) Prasasti Ligor B menyebutkan
nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa Kama. Disebutkan
pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu Syailendravamsaprabhunigadata Sri
Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.
b) Prasasti Kalasan (778 M)
menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.
c) Prasasti Ratu Boko (778 M)
menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.
3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti
Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang
mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi
Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain
candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang
menjadi senjata dewa Indra.
4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir
keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti
Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M).
Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya,
Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (candi
Prambanan) oleh Pramodhawardhani.
Nama Samaratungga juga disebutkan
dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda
pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa
pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan candi
besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami
Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa
Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.
-
Kehidupan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram
yang terisolasi menyebabkan perekonomian kerajaan itu sulit untuk berkembang
dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit untuk
dilakukan karena keadaan sungainya. Dengan demikian, perekonomian rakyat banyak
yang mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan
internasional. Dengan keadaan tersebut, wajar bila Raja Kayuwangi berusaha untuk
memajukan sektor pertanian, sebab dengan sektor inilah, perekonomian rakyat
dapat dikembangkan.
Berdasarkan prasasti
Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung memerintahkan pendirian
pusat-pusat perdagangan. Pendirian pusat-pusat perdagangan tersebut dimaksudkan
untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, baik di sektor pertanian dan
perdagangan. Selain itu, dimaksudkan agar menarik para pedagang dari daerah
lain untuk mau berdagang di Mataram.
Prasasti Wonogiri (903
M) menceritakan tentang dibebaskannya desa-desa di daerah pinggiran sungai
Bengawan Solo apabila penduduk setempat mampu menjamin kelancaran lalu lintas
di sungai tersebut. Terjaminnya sarana pengangkutan atau transportasi merupakan
kunci untuk mengembangkan perekonomian dan membuka hubungan dagang dengan dunia
luar. Dengan demikian, usaha-usaha mengembangkan sektor perekonomian terus
diusahakan oleh raja Mataram demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
-
Kehidupan Sosial
Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak
begitu ketat, sebab seorang Brahmana dapat menjadi seorang pejabat seperti
seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang Ksatria bisa saja menjadi seorang
pertapa. Dalam masyarakat Jawa, terkenal dengan kepercayaan bahwa dunia manusia
sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). Dengan demikian,
segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh pada kehidupan
manusia, begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta
dan kehidupan manusia maka harus dijalin hubungan yang harmonis antara alam
semesta dan manusia, begitu pula antara sesama manusia. Sistem kosmologi juga
menjadikan raja sebagai penguasa tertinggi dan penjelmaan kekuatan dewa di
dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan adalah milik raja, dan
rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja harus
memerintah secara arif dan bijaksana.
- Kebudayaan
Dalam
bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya yang berupa candi.
Pada masa pemerintahan Raja Sanjaya, telah dibangun beberapa candi antara lain:
Candi Arjuna, Candi Bima dan Candi Nakula. Pada masa Rakai Pikatan, dibangun
Candi Prambanan. Candi-candi lain yang dibangun pada masa Mataram Kuno antara
lain Candi Borobudur, Candi Gedongsongo, Candi Sambisari, dan Candi Ratu Baka.
Kerajaan Kediri
-
Letak Geografis
Kerajaan Kediri adalah sebuah
kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini
merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi
S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
-
Kehidupan Politik
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini
dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis
oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh
Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan
masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri
termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang
saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang
putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil
(administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang
dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu
kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja
naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat
memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan
perampok jika tertangkap dihukum mati.
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri)
bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai
berikut.
1.
Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja
Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana
Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan pada
Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi).
Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu
·
Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)
·
Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
·
Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
·
Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056
Saka (1136 Masehi), tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah
dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya? Lencana kerajaan yang digunakan
adalah tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang disebut Candrakapala.
Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.
2.
Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri
Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama
Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka
(1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka
tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka)
menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia
disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada
Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang
(1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang
berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah
pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri
Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama
Digjayattunggadewanama. Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana
kerajaan yang digunakan adalah Ganesha.
4. Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino
Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri
Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri
Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri
Gandra.
5. Sri Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan senapati
sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada
laut yang kuat. Di samping itu, juga dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama
binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.
6. Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun 1182–1185. Kameswara
bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama
Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sastra
berkembang pesat.
7. Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kertajaya
atau Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara
Triwikramataranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah
raja terakhir yang memerintah Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun
1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat
dengan para brahmana. Para brahmana kemudian minta perlindungan kepada Ken
Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok untuk memberontak raja. Oleh
karena itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken
Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan
Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan
Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.
-
Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang
hidup di daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian
di daerah pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh
kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran
bagi rakyat. Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan
dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para
pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran
antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah
pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak
digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah
pesisir.
-
Kehidupan Sosial
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai
kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi.
Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas.
Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu
dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat
pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat
dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga
sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat
leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
- Kebudayaan
Pada
zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang
dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada
Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena
tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu,
nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu
berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079
Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya
dan Hariwangsa.
Pada
masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai
berikut.
1.
Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat
syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2.
Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa
Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3.
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah
Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya
yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain
karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman
Kediri, antara lain sebagai berikut.
1.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna
sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan
sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
2.
Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya
cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita
Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan
Kunjarakarna.
Kerajaan Medang Kamulan
-
Letak Geografis
Kerajaan Medang kamulan
merupakan Kerajaan lanjutan dari Mataram Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan
berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak
Mpu sindok membentuk Dinasti Baru yaitu Isyana.
- Kehidupan Politik
Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan,
terdapat
beberapa
raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah
sebagai
berikut.
Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar
Mpu
Sindok
Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti
Isyana.
Raja Mpu Sindok masih termasuk keturunan dari raja Dinasti Sabjaya
(Mataram)
di Jawa Tengah. Karena kondisi di Jawa Tengah tidak memungkinkan
bertahtanya
Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok
memindahkan
pusat pemerintahannya ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir
Mpu Sindok
(947 M) menyatakan bahwa Raja Mpu sindok adalah peletak dasar dari
Kerajaan
Medang Kamulan di Jawa Timur.
Raja Dharmawangsa dikenal
sebagai salah seorang raja yang memiliki
pandangan
politik yang tajam. Semua politiknya ditujukan untuk mengangkat
derajat
kerajaan. Kebesaran Raja Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar
negerinya.
Airlangga
Dalam Prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga (Erlangga)
masih
termasuk keturunan dari Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya. Ibunya bernama
Mahendradata
(Gunapria Dharmapatni) yang kawin dengan Raja Udayana dari Bali .
-
Kehidupan Ekonomi
Raja Mpu
Sindok mendirikan ibu kota kerajaannya di tepi Sungai
Brantas, dengan tujuan menjadi pusat
pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa
Timur. Bahkan pada masa pemerintahan Dharmawangsa,
aktifitas perdagangan bukan
saja di Jawa Timur, tetapi berkembang ke luar
wilayah jawa Timur.
Di bawah pemerintahan Raja
Dharmawangsa, Kerajaan Medang Kamulan
menjadi pusat aktifitas pelayaran perdagangan
di indonesia Timur. Namun akibat
serangan dari Kerajaan Wurawari, segala
perekonomian Kerajaan Medang Kamulan
mengalami kehancuran.
-
Kehidupan Sosial
Masyarakat
kerajaan Medang Kamulan tersusun dalam sebuah hirarkis. Birokrasi
kerajaan berjalan sesuai dengan tugasnya. Pada umumnya,
masyarakatnyaadalah petani, pedagang, dan peternak
-
Kebudayaan
Kebudayaan pada masa ini sudah berkembang dengan sangat
baik. Pajak-pajak telah dibebaskan karena harus memelihara
sebuah bangunan suci. Daerah yang dibebaskan dinamakan dengan perdikan atau
sima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar